Front Jihad Islam (FJI) punya andil dalam penolakan pembangunan kantor Gereja Kristen Jawa (GKJ) Klasis Gunungkidul. Pemerintah Daerah (Pemkab) Gunungkidul menjadikan penolakan sebagai dalih tidak memberikan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
Puluhan orang mengepung lokasi rencana kantor GKJ Klasis Gunungkidul sehari sebelum acara malam peletakan batu pertama pembangunan kantor GKJ pada Rabu malam, 7 September 2016. Sebagian dari mereka mengenakan seragam bertuliskan “Front Jihad Islam”.
“Setelah menyampaikan pembatalan rencana peletakan batu pertama ke dukuh dan tokoh masyarakat di lokasi rencana pembangunan, kami langsung pulang,” kata Christiana Riyadi Koordinator Advokasi GKJ Klasis Gunungkidul. Ia masih ingat suasana malam itu. “Banyak orang berkumpul dan meneriakkan penolakan sambil membawa pentungan, kami takut meski ada aparat kepolisian,” lanjutnya.
Sore harinya, sebelum penolakan terjadi, suasana di Padukuhan Grogol I, Bejiharjo yang menjadi lokasi rencana kantor GKJ Klasis sama seperti sore-sore pada biasanya: damai dan aman.
“Pada sore itu Rebito pengurus GKJ Klasis yang ditugaskan menyebar undangan sosialisasi dan peletakan batu pertama,” kata Christiana. “Semua Ketua RT dan Ketua Padukuhan menerima undangan dengan baik, tanpa ada gelagat penolakan,” lanjutnya.
Menurut Christiana, sore ketika undangan disebar, sehabis salat ashar di Masjid Nurul Hidayah ada mobilisasi warga Grogol I. Tujuannya untuk menolak pembangunan kantor GKJ Klasis. “Warga didatangi satu per satu di rumahnya, ada yang ikut ada yang tidak,” kata Christiana.
Malamnya sekitar pukul 19.10, rombongan Ketua RT yang dipimpin Agung Waluyo Kepala Dukuh Grogol I mendatangi Rebito. “Mereka mengutarakan penolakan terhadap rencana pembangunan kantor,” terang Christiana. Ketika itu juga Rebito menghubungi Christiana dan pengurus GKJ Klasis lainnya.
Christiana bersama pengurus GKJ Klasis lainnya langsung menemui massa penolak di lokasi rencana pembangunan kantornya. Dalam dokumentasi foto yang ditunjukkan Christiana, sekelompok orang berseragam FJI hadir dalam penolakan malam itu. Sebagian besar menurut Christiana bukan warga Grogol I.
Kehadiran FJI dalam Penolakan

Tidak sekali itu FJI hadir dalam aksi-aksi penolakan warga Grogol I. Audiensi antara warga dan GKJ Klasis yang difasilitasi oleh Camat Karangmojo pada 13 September 2016 juga dihadiri beberapa orang berseragam FJI. “Tidak ada kesepakatan final pada audiensi karena kondisi tidak kondusif,” sebut Christiana.
Preseden penolakan pembangunan kantor GKJ Klasis membuat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (DPMPT) Gunungkidul enggan mengeluarkan surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). “Padahal syarat sudah terpenuhi semua,” jelas Christiana.
Atas tidak dikeluarkannya IMB oleh DPMPT, GKJ Klasis menempuh jalur hukum. Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta per 10 April 2017 menjadi kuasa hukum GKJ Klasis.
Kemudian LBH Yogyakarta mendaftarkan permasalahan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan Register Perkara No. 14/G 2017/PTUN.YK. Salinan persidangan tersebut menyebutkan Kapolsek Karangmojo Irianto mengambil sikap untuk memenuhi tuntutan massa penolak karena alasan keamanan. “Jika tidak dipenuhi akan didatangkan orang dari bawah,” kata Irianto dalam transkip persidangan.
Maksud dari orang dari bawah adalah ormas dari Yogya dan Solo. “Ada ancaman menyerbu Dinas Pekerjaan Umum juga,” lanjut Irianto dalam dokumen transkip persidangan.
Putusan PTUN dimenangkan GKJ Klasis, sehingga DPMPT wajib mengeluarkan IMB. Respon warga atas keputusan tersebut adalah mengadakan pengajian akbar pada 12 September 2017. Lagi-lagi FJI hadir dalam pengajian bertajuk penolakan pembangunan kantor GKJ Klasis tersebut.
“Sekitar 40an orang berseragam FJI hadir dalam pengajian itu,” sebut Christiana. Sedangkan total peserta pengajian 500 orang.
Sayangnya Agung tidak bersedia mengkonfirmasi temuan-temuan dari hasil investigasi GKJ Klasis. Tiga kali permintaan wawancara langsung ke rumahnya tidak ditemuinya. Begitu juga melalui pesan Whatsapp.
Kekerasan Beragama Sebelumnya
Stefanus Iwan Listiyantoro dari Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Darma dalam tesis penelitiannya menyebutkan rentetan kekerasan beragama di Gunungkidul memiliki benang merah. Kehadiran FJI pada setiap tindakan kekerasan beragama adalah benang merahnya.
Sebelum preseden penolakan pembangunan kantor GKJ Klasis, dari 2012 hingga 2016, setidaknya terdapat enam peristiwa kekerasan beragama di Gunungkidul. Semuanya ada andil FJI.
Mulai dari penolakan pendirian Gua Maria Wahyu di Gedangsari pada 6 Mei 2020, lalu penutupan Gereja Kristen Kemah Injil Indonesia di Girisobo pada 30 Maret 2014. Penolakan Perayaan Paskah Adiyuswa Sinode GKJ pada 20 Mei 2014, kemudian intimidasi dan kekerasan yang dialami Aminudin Aziz pegiat Forum Lintas Iman di Wonosari pada 2 Mei 2014. Hingga penutupan Gereja Pentakosta Indonesia di Playen pada 10 Juni 2014.
Kehadiran FJI dalam aksi-aksi kekerasan tersebut mulai dari ancaman penyerbuan pada Camat, Kepala Desa, hingga Kapolsek setempat. “Bahkan mendatangi langsung dan menanyakan IMB Gereja, seperti di Girisoba,” jelas Iwan.
Sikap permisif dari Pemkab dan aparat kepolisian, menurut Iwan, terhadap tindakan kekerasan beragama membuat peristiwa serupa akan terulang terus-menerus. Sehingga secara tidak langsung, jelas Iwan, aktor kekerasan beragama merasa diakomodasi mengulangi tindakannya.
Ketika dikonfirmasi soal hal tersebut, Komandan FJI Yogyakarta Dullrahman tidak menanggapinya. “Silahkan langsung ke FJI Gunungkidul,” katanya. Ia akan memberikan kontak FJI Gunungkidul. Namun, hingga tulisan ini terbit tidak kunjung ia berikan.
Aminudin Aziz, pegiat Forum Lintas Iman Gunungkidul yang menguatkan temuan Iwan. Ia adalah penyintas kekerasan yang dilakukan oleh FJI berupa usaha pemukulan dan perusakan mobil.
Pemkab dan kepolisian, sebut Aminudin, harus tegas memotong rantai kekerasan beragama. Baginya, tanpa ketegasan Pemkab dan kepolisian sikap toleransi akan terkikis. “Karena orang akan takut dan cenderung pasif jika mendapati tindakan-tindakan intoleran di sekitarnya tanpa ketegasan pihak terkait,” jelasnya.
Ketakutan tersebut dialami langsung oleh Aminudin selepas peristiwa kekerasan yang diperolehnya dari FJI. “Aparat tidak menindak tegas pelaku kekerasan, maka tidak menutup kemungkinan kekerasan serupa akan tetap dilakukan,” imbuhnya.
Sementara itu, GKJ Klasis masih menunggu ketegasan Pemkab Gunungkidul mematuhi putusan PTUN. Untuk mengeluarkan surat IMG pada kantornya.
Tak kunjung mendapat kejelasan dari Pemkab Gunungkidul, bersama LBH Yogyakarta pada 20 Januari 2020, GKJ Klasis mengirim surat permohonan audiensi. Hasilnya pada 5 Februari 2020 audiensi berlangsung dengan kesimpulan Kepala DPMPT akan mematuhi keputusan PTUN dan mensosialisasikannya pada warga Grogol I.
Bak menelan ludahnya sendiri, pada 10 Maret 2020 dalam mediasi dengan perwakilan warga Grogol I, Pemkab Gunungkidul meminta GKJ Klasis untuk mensosialisasikan pembangunan kantornya sendiri. Hasilnya, lagi-lagi ditolak warga pada 13 Maret 2020.
“Kami dibiarkan terseok-seok menghadapi kekerasan ini sendirian, Pemkab seolah bersembunyi pada nilai-nilai intoleransi,” pungkas Christiana.