Jurnal Gunung Kidul
  • Feature
  • Opini
  • Ulasan
No Result
View All Result
Menu Jurnal Gunung Kidul
  • Feature
  • Opini
  • Ulasan
No Result
View All Result
Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
logo Jurnal Gunung Kidul
No Result
View All Result
Home Feature

Bertahan dalam Keterbatasan Layanan Kesehatan Jiwa

Triyo Handoko by Triyo Handoko
3 November 2020
7 min read
0 0
Bertahan dalam Keterbatasan Layanan Kesehatan Jiwa

Ilustrasi ole Deasynta

Share on FacebookShare on Twitter

Tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul, Yogyakarta tidak disadari sebagai kebutuhan layanan kesehatan jiwa. Minimnya layanan kesehatan jiwa membuat penyintas bunuh diri bertahan semampunya.

Pandemi Covid-19 tidak hanya membawa virus yang menyerang kesehatan fisik, namun juga psikologis masyarakat. Serangan psikologis tersebut berupa kecemasan hingga depresi berat. Kartono, bukan nama sebenarnya adalah salah satu yang merasakan permasalahan psikologis karena pandemi.

Pekerjaanya sebagai buruh serabutan berhenti selama dua bulan pertama setelah Covid-19 melanda Gunungkidul, awal April yang lalu. Kondisi tersebut membuat Joko cemas dan takut. “Setelah percobaan bunuh diri yang saya lakukan 2015 lalu, saya mudah cemas dan takut,” katanya saat ditemui Senin, 19/10.

Beberapa tahun lalu, Kartono juga pernah mencoba mengakhiri hidup karena depresi yang melandanya. Ia mendapat permasalahan ekonomi yang cukup berat. “Padahal ada orang tua dan teman yang bisa mendengar permasalahan, tapi saya tidak terpikir sampai situ,” ujarnya.

Kartono menyesali tindakannya. “Belum tentu juga permasalahan selesai jika saya mati, bisa saja orang terdekat saya justru bakal banyak masalah,” jelasnya. Kini, ia bersyukur karena selamat dan bisa menyelesaikan permasalahannya satu per satu.

Pernah sekali semenjak usahanya untuk bunuh diri, Ia mencoba untuk konseling ke Puskesmas Playen. Namun, ia tidak mendapat layanan tersebut. “Tidak ada layanan kesehatan jiwa di Puskesmas pada waktu itu, yang ada di RSUD Wonosari,” ungkapnya.

Seingat Kartono, waktu itu akhir 2015. Semenjak itu, ia tidak lagi berminat untuk mengakses layanan kesehatan jiwa. “Bisa ditangani sendiri, bisa dengan cerita ke orang tua atau teman. Itu meredakan masalah,” terangnya.

Begitu juga ketika Kartono mengalami kecemasan dan ketakutan berlebihan karena pandemi. Ia ceritakan ke orang tua dan temannya. “Mereka mendengarkan dan mengerti yang saya rasakan dan saya jadi lebih baik,” tuturnya.

Kartono tidak sendirian, data Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDKSJI) menyebutkan 64,8 persen masyarakat Indonesia mengalami gangguan kesehatan jiwa karena pandemi. Data PDKSJI tersebut dari hasil survei pada April hingga Agustus 2020, di 34 provinsi di Indonesia.

Melalui 4.010 pasien yang menjadi responden survei PDKSJI, ditemukan tiga tipe masalah yang dijumpai. Pertama depresi, sejumlah 62 persen. Kedua, cemas sebanyak 65 persen. Ketiga, trauma sebesar 75 persen. Satu hal yang membuat khawatir dari temuan tersebut, kecenderungan untuk bunuh diri.

Dijamin BPJS tapi Minim Layanan

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelengaraan Program Jaminan Kesehatan, menyebutkan bahwa pemegang asuransi BPJS berhak mendapat jaminan pengobatan kesehatan jiwa. Hal tersebut diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Dalam Perpres No. 82 tahun 2018 pasal 52 tentang Manfaat yang Tidak Dijamin, layanan kesehatan jiwa tidak termasuk di dalamnya. Namun, permasalahannya di Gunungkidul layanan kesehatan jiwa tidak maksimal dipenuhi oleh fasilitas kesehatan yang ada. Mulai dari tingkat Puskesmas hingga Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).

“Di Gunungkidul sebelum tahun 2019 hanya memiliki satu psikiater dan tidak ada psikolog,” ungkap Sigit Purnomo saat ditemui di rumahnya, Kamis 22/10. Ia adalah salah satu pegiat di Yayasan Intimatajiwa, satu-satunya lembaga di Gunungkidul yang fokus pada isu kesehatan jiwa.

Sigit menjelaskan kurangnya sarana dan prasarana untuk pelayanan kesehatan jiwa jadi faktor utama tinggi dan stagnannya angka bunuh diri di Gunungkidul. Data Yayasan Intimatajiwa menyebutkan pada 2015 tercatat 33 kasus bunuh diri. Kemudian pada 2016 stagnan pada 33 kasus, naik pada 2017 dengan jumlah 34 kasus. Lalu pada 2018 jadi 33 kasus, pada 2019 stagnan pada 33 kasus.

Sedangkan per Oktober 2020, tercatat sudah 30 kasus bunuh diri di Gunungkidul. “Pandemi jadi salah satu pemicu tingginya angka bunuh diri tahun ini,” kata Sigit. Ia menjelaskan tidak hanya bagi yang belum sadar akan pentingnya kesehatan jiwa, namun juga yang sudah sadar pun terdampak psikologisnya.

“Ada satu pegiat di Intimatajiwa juga yang depresi karena pandemi,” jelas Sigit. Hal tersebut karena ketakutan  akan virus Covid-19 hingga pola kehidupan sehari-hari yang berubah drastis karena pandemi.

Sehingga, menurut Sigit, penting sekali meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa di masa pandemi. “Kenyataannya sebelum masa pandemi saja susah mendapatkan layanan kesehatan jiwa di Gunungkidul, apalagi pada masa krisis seperti masa pandemi ini,” keluhnya.

Mimik wajah Sigit berubah lebih serius ketika menjelaskan hak-hak masyarakat terhadap layanan kesehatan jiwa. Khususnya hak orang dalam gangguan jiwa (ODGJ). “Dalam Undang-undang No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, pemerintah pusat hingga daerah berkewajiban memenuhi layanan kesehatan jiwa pada masyarakat,” jelasnya.

Sigit Purnomo pada malam hari di rumahnya ketika wawancara.

Namun hingga 2020, hanya terdapat tiga fasilitas kesehatan di Gunungkidul yang menyediakan layanan kesehatan jiwa. “Hanya di RS. Panti Rahayu di Karangmojo, RS PKU Muhamadiyah di Piyaman, dan RSUD Wonosari,” sebut Sigit.

Sigit membandingkan daerah lain. “Di Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta, semua Puskesmasnya sudah dilengkapi poli kesehatan jiwa dengan psikolog profesional,” terangnya. Padahal Gunungkidul jauh memiliki permasalahan berat soal kesehatan jiwa.

“Mengapa tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul, tidak dibaca pemerintah daerah (Pemda) sebagai permasalahan akses layanan kesehatan jiwa?” tanya Sigit bingung dengan kinerja Pemda Gunungkidul.

Terbatasnya akses layanan kesehatan jiwa di Gunungkidul, menurut Sigit, secara langsung merugikan masyarakat yang memegang asuransi BPJS dari semua level. “Mereka yang pegang BPJS di Gunungkidul jadi tidak dapat manfaat layanan kesehatan jiwa yang sudah dijamin,” jelasnya.

Salah satu yang tidak mendapat manfaat BPJS karena tidak maksimalnya layanan kesehatan jiwa di Gunungidul adalah Karina, bukan nama sebenarnya. Ia adalah pengidap skizofernia. Gangguan jiwa berat yang harus rutin mengkonsumsi obat.

Awal kali Karina menyadari bahwa ia mengidap gangguan jiwa berat pada 2006. Waktu itu, ia berhalusinasi berat melihat ular bergelantungan di dinding rumahnya. Ia juga sering mendengar bisikan-bisikan ketika berhalusinasi.

“Ular di tembok dan bisikan itu seperti kenyataan, sulit membedakannya dengan apa yang benar terjadi,” jelas Karina pada Minggu, 18/10. Ia juga pernah mencoba mengakhiri hidup. Untungnya tindakan cepat dilakukan keluarganya.

Atas kondisi tersebut, pertama kali ia dibawa ke pondok pesantren hingga ‘orang pintar’ atau pengobatan tradisional supaya sembuh. Namun tidak ada perubahan, justru sebaliknya: halusinasinya semakin sering terjadi.

Keluarganya pun mencoba menempuh pengobatan medis. “Waktu itu bingung bagaimana caranya, di Puskesmas tidak ada layanan kesehatan jiwa, di RSUD Wonosari dirujuk ke RSUP Sardjito,” ingat Karina. Syarat perujukan ke RSUP Sardjito pun rumit.

Kini, Karina rutin mengambil obatnya di RSUP Sarjito. Halusinasinya pun bisa ia kendalikan lagi berkat rutin mengkonsumsi obat. “Saya berharapnya bisa ambil obat dan mengakses layanannya di Gunungkidul saja, supaya tidak jauh,” harapnya.

Terbatasnya Formasi Tenaga Medis

Yudo Hendratmo di ruangannya saat wawanacara.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Dinas Kesehatan Gunungkidul, Yudo Hendratmo menyebutkan kendala utama pemenuhan layanan kesehatan jiwa di Gunungkidul adalah terbatasnya formasi tenaga medis, seperti psikolog dan psikiater.

Yudo adalah penanggung jawab atas permasalahan kesehatan jiwa, termasuk di dalamnya sarana dan prasarana. Ia menyebutkan bahwa selama ini puskesmas sudah mengajukan kebutuhan akan tenaga medis untuk layanan kesehatan jiwa. “Sementara ini menunggu saja dari pusat,” katanya di ruang kerjanya, Jumat 23/10.

Terbatasnya tenaga medis kesehatan jiwa di Gunungkidul, jelas Yudo, disiasati dengan menyediakan programer kesehatan jiwa di setiap Puskesmas. “Programer kesehatan jiwa di Puskesmas adalah tenaga medis di Puskesmas yang diberikan tugas tambahan untuk menangani kesehatan jiwa,” terangnya.

Kendala dari programer kesehatan jiwa, menurut evaluasi Dinas Kesehatan Gunungkidul, adalah belum mahirnya programer kesehatan jiwa soal kesehatan jiwa itu sendiri. “Belum ada pelatihan yang memadai memang,” kata Yudo.

Selain itu, perubahan formasi pada tiap Puskesmas juga menjadi kendala. “Contohnya, pernah ada programer kesehatan jiwa di Saptosari dipindah tugaskan ke Tanjungsari,” jelas Yudo. Perubahan tersebut berdampak pada layanan kesehatan jiwa di Puskesmas yang ditinggalkan.

Inisiatif pembentukan programer kesehatan jiwa, menurut Yudo, untuk memenuhi standar pelayanan kesehatan yang sudah ditentukan oleh Kementerian Kesehatan. Sementara itu, ia juga menyadari memag masih minim pelayanan kesehatan jiwa di Gunungkidul.

Salah satu programer kesehatan jiwa yang bertugas di Puskesmas Karangmojo, Salman Alfadlah, menyebutkan mengalami kesulitan dalam menangani kesehatan jiwa. Ia adalah dokter umum yang diberi tugas tambahan sebagai programer kesehatan jiwa.

Kesulitan Salman terutama soal mendiagnosis gangguan kesehatan jiwa pasien yang ia tangani. “Kesulitan tersebut karena tidak dalam ilmu yang saya miliki soal kesehatan jiwa,” jelasnya.

Sementara itu, Salman juga terus belajar soal kesehatan jiwa. “Jika mengalami kesulitan, sedangkan pasien butuh segera ditangani saya rujukan ke RSUD Wonosari,” terangnya.

Salma menyebutkan kebutuhan obat-obatan untuk kesehatan jiwa sudah dicukupi oleh Puskesmas. “Untuk obat di Puskesmas sudah lebih lengkap sekarang, itu meringankan pasien,” ungkapnya.

Salman berharap kelak layanan kesehatan jiwa ditangani profesinal di bidangnya. “Jika orang yang melayani profesional dan menguasai tentu sangat lebih baik,” katanya. Selain supaya fokus pekerjaanya juga tidak terbagi-bagi.

Artikel ini didukung oleh dana hibah liputan dari Friedrich-Ebert-Stiftung, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan AJI Indonesia.

Tags: BPJSBunuh DiriKesehatan Jiwa
ShareTweetSend
Triyo Handoko

Triyo Handoko

Categories

  • Feature
  • Opini
  • Ulasan

Tags

Anak BPJS Bunuh Diri Covid19 Dewan Riset Daerah Gunungkidul Guru Honorer intoleransi Karst Gunung Sewu Kebijakan Daerah kekerasan Kekeringan Kesehatan Jiwa Kesehatan Mental Lingkungan Pariwisata Pembangunan Pendidikan Penghayat Kepercayaan Perempuan Perkawinan Anak Riset
Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Kirim Tulisan

Jurnal Gunungkidul

  • Feature
  • Opini
  • Ulasan

Jurnal Gunungkidul

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In