Sudah sepatutnya kita bertanya sampai kapan persoalan kekeringan di Gunungkidul akan selesai atau apakah kekeringan di Gunungkidul memang dibiarkan saja ?
Menjadi pemandangan biasa ketika musim kemarau tanki-tanki pengangkut air berseliweran di Gunungkidul, fenomena tersebut menandakan bahwa kekeringan sedang terjadi. Faktor mendasar penyebab kekeringan di Gunungkidul ialah kondisi geografisnya yang 53% merupakan wilayah karst. Kawasan karst merupakan wilayah yang bagian atasnya merupakan area tandus dan kering sedangkan bagian bawahnya merupakan area penyimpanan air bawah tanah melaui sungai bawah tanah yang seharusnya airnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Gunungkidul secara keseluruhan.
Dalam penelitian Purbo-Hadiwijoyo (1978) menyatakan bahwa mata air di Baron merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia, selain itu berdasarkan laporan dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak (2014), di kawasan Gunungkidul sedikitnya ada tujuh sungai bawah tanah yang berlimpah air, yaitu : Baron (4.000 lt/detik), Bribin (750lt/detik), Grubug (680 lt/detik), Ngobaran (120 lt/detik), Seropan (800 lt/detik), Sumurup (200 lt/detik), dan Toto (260 lt/detik).
Komitmen pemerintah dalam mengatasi kekeringan perlu dipertanyakan, sejauh ini solusi pemerintah mengatasi kekeringan adalah dengan metode dropping air ke rumah warga, belum ada solusi konkrit dari pemerintah untuk mengatasi kekeringan Gunungkidul. Kekeringan seolah dianggap sebagai fenomena tahunan biasa dan dapat diselesaikan dengan dropping air, bahkan anggaran APBD kekeringan tahun 2019 mencapai 530 juta nominal tersebut belum termasuk bantuan dari pihak luar.
Sudah enam bulan atau bahkan tujuh bulan kekeringan melanda Gunungkidul, dalam kekeringan yang berkepanjangan kelompok yang paling terkena dampak ialah masyarakat miskin. Ketika simpanan air telah habis yang kemudian terjadi adalah menipisnya persediaan pangan karena harus menggadaikan atau menjual asetnya untuk membeli air. Dalam tulisan Bagong Suyanto di geotimes.com menjelaskan dampak sosial dari kekeringan: Robert Chambers dalam salah satu artikelnya di buku People Centered Development, Contributions toward Theory and Planning Frameworks (1984) menyebutkan sejumlah risiko yang akan terjadi ketika masyarakat miskin mengalami ancaman musim kekringan yang berkepanjangan.
Pertama, musim kering yang berkepanjangan adalah masa-masa dimana masyarakat miskin entan menjadi korban eksploitasi dan ketergantungan. Bisa dibayangkan, ketika pemasukan atau penghasilan masyarakat miskin berkurang drastis, sementara hasil panenan tidak seperti yang diharapkan, bahkan tidak jarang pula mereka gagal panen, maka selain melakukan berbagai langkah penghematan, jalan keluar lain adalah mengandalkan utang. Para rentenir, tuan tanah lokal, pedagang pengepul, dan orang-orang mapan yang ada di sekitar masyarakat miskin desa biasanya yang akan mengulurkan pinjaman, tetapi dengan kewajiban bunga pinjaman yang relatif tinggi atau paling tidak diembel-embeli dengan kewajiban sosial agar masyarakat miskin tunduk ketika mereka menentukan harga jual komoditas pertanian yang dihasilkan.
Kedua, di musim kekeringan yang berkepanjangan salah satu konsekuensi yang tidka terhindarkan adalah pasokan pangan berkurang, yang kemusian menyebabkan harga pangan otomatis naik. Bagi petani miskin yang selama ini menjual komoditas pertanian dalam bentuk gabah, mereka biasanya akan kesulitan dapat membeli beras yang di konsumsi sehari-hari karena adanya perbedaan harga gabah dan harga beras yang relatif besar. Sudah bukan rahasia lagi para petani selama ini tidak pernah menjadi pihak yang ikut merasakan keuntungan dari kenaikan harga pangan di saat komoditas pangan langka. Meski mereka adalah produsen utama pangan, tapi karena nilai tukar komoditas gabah dibandingkan komoditas pangan siap konsumsi tidak sebanding, yang terjadi biasanya adalah menurunnya kemampuan petani miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketiga, musim kering yang berkepanjangan umumnya akan menyebabkan masyarakat miskin masuk dalam proses pendalaman kemiskinan yang makin kronis. Sudah lazim terjadi, di musim kering ketika penghasilan menurun atau bahkan hilang, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga miskin akan menjual atau menggadaikan barang bahkan terpaksa kehilangan sebagian aset produksi yang dimiliki untuk menambal kebutuhan hidup sehari-hari. Sebuah keluarga petani yang gagal panen, misalnya, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi ada;ah menjual atau menggadaikan sebagian aset miliknya karena utang-utang lama yang ditanggung justru makin membesar.
Ketika ratusan ribu masyarakat Gunungkidul tiap tahun terdampak kekeringan, lantas kurang serius apa permasalahan ini sehingga belum ada solusi konkrit ?