Setelah membaca liputan yang dilakukan Vice Indonesia, soal Sekolah Pangan di Panggang, saya makin yakin bahwa Gunungkidul membutuhkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur soal Pendidikan. Gunungkidul memiliki kekhasan permasalahan yang tidak terkakomodasi dalam sistem pendidikan secara nasional.
Sehingga diperlukan sistem pendidikan tambahan untuk memacahakan permasalahan yang khas tersebut. Kekhasan permasalahan tersebut meliputi tingkat urbanisasi yang tinggi, kebutuhan akan literasi kesehatan mental, hingga bagaimana mengelola potensi lokal untuk menunjuang kebutuhan masyarakat. Jika digali kembali akan banyak kita temui permasalahan khas Gunungkidul yang dari dulu hingga kini tidak tertangani.
Sistem pendidikan nasional yang hadir hari ini, masalahnya dan mustahil untuk mengakomodasi permasalahan daerah untuk diatasi dalam pengajarannya. Indonesia terlalu kaya akan keragaman untuk disama-ratakan dalam sisitem pendidikan.
Daerah lah yang seharusnya merumuskan sendiri permasalahannya untuk kemudian mengakomodasinya dalam pendidikan. Sebagai bagian dari pengembangan sumber daya manusia, pendidikan semestinya menjadi wadah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan hidup masyarakat. Setidaknya untuk jangka waktu yang panjang.
Keberhasilan pendidikan bisa dilihat bagaimana perkembangan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Jika dari dulu permasalahanya tidak berubah. Maka ada yang salah dari pendidikan. Pertanyaanya menjadi: Apakah pendidikan yang diterima masyarakat tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat?
Jika tidak relevan lantas apa gunanya pendidikan. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan, menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah wadah bagi proses untuk seseorang bisa mengerti hakikat kehidupannya. Juga bagaimana seseorang bisa mendayagunakan pikiran dan nuraninya untuk mengelola setiap potensi di sekitarnya agar bisa digunakan dengan sepatutunya untuk mengengmbangkan kehidupan yang lebih bermartabat dan menjunjung tinggi kemanusiaan.
Perda Pendidikan (Bisa) Menjawab
Kenyataanya sejak 188 tahun Gunungkidul menjadi daerah swa-praja ketika Indonesia belum merdeka, hingga menjadi kabupaten sejak Indonesia merdeka belum ada peraturan khusus yang mengatur pendidikan. Alih-alih menjadikan sektor pendidikan sebagai sarana menyelesaikan permasalahan. Sehingga jalan ini patut ditempuh. Membuat Perda Pendidikan yang megakomodasi kekhasaan permasalahan Gunungkidul.
Akan tetapi, meskipun pemegang otoritas—entah Bupati atau DPRD Gunungkidul—belum melakukan percobaan terebut, warga sudah melakukannya. Tidak hanya Sekolah Pangan di Panggang. Beberapa warga juga mendirikan sendiri sekolah-sekolah informal maupun non-formal yang disesuikan dengan kebutuhan warga. Misalnya di Tepus dengan Komunitas Bocah Sisih Kidul (Bosskid) yang fokus pada isu karakter anak dan pengembangan keterampilan pada sektor pariwisata.
Diah Widuretno penggagas Sekolah Pangan di Panggang menyebutkan bahwa warga Wintaos, Panggang memiliki sistem pertanian tadah hujan dan sistem preservasi pangan yang dikembangkan beratus tahun. Sehingga meskipun Wintaos adalah daerah berbatu, warga disana dapat terus menghidupi hidup dari lahan yang dimilikinya.
Permasalahannya sistem pertaniaan dan preverensi pangan tersebut tidak diajarkan di bangku-bangku sekolah. Sehingga banyak anak muda yang memutuskan merantau karena mengira tidak bisa menghidupi hidup di daerahnya. Akibatnya desa defisit anak muda usia produktif untuk mengembangkan desa.
Diah Widuretno menjadi saksi dimana mayoritas muda-mudi selepas lulus sekolah selalu pindah ke kota mencari kerja. Urbanisasi seolah satu-satunya pilihan ketimbang bertahan. Seakan kesejahteraan hanya didapat di kota, bukan di tanah kelahirannya sendiri.
Pertanyaanya menjadi: Apa yang diajarkan di bangku sekolahan sehingga urbanisasi menjadi budaya? Pada permasalahan lain pertanyaanya akan menjadi mirip pertanyaan diatas. Misalnya soal angka bunuh diri yang tinggi dan stagnan. Apa yang diajarkan bangku sekolahan sehingga angka bunuh diri tidak berkurang?
Kuatnya mitos pulung gantung seolah menjadi legitimasi angka-angka bunuh diri di Gunungkidul tinggi. Permasalahannya sudahkan mitos tersebut ditinggalkan? Tentu saja bisa. Namun, ikhtiar untuk meninggalkan mitos tersebut tidak ada.
Padahal pendidikan menjadi sarana-prasaranan yang cukup kuat untuk meninggalkan mitos tersebut. Pengajaran yang tepat dengan pengetahuan yang komperhensif yang disesuaikan dengan kearifan lokal mampu menjadi strategi yang jitu untuk meluruskan setiap mitos buruk yang ada di suatu daerah.
Selama 12 tahun mengenyam pendidikan di Gunungkidul, saya belum pernah mendengar apapun soal literasi kesehatan mental yang dilontarkan oleh guru. Padahal literasi kesehatan mental penting ditanamkan sejak dini. Agar tidak mudah termakan oleh mitos. Jika menemui tetangga, saudara, atau temen mengakhiri hidup dengan gantung diri.
Dua hal di atas, soal kebutuhan pengembangan pengetahuan dan keterampilan mengelola pangan dan literasi kesehatan mental. Sebagai contoh bisa diakomodasi dalam kurikulum muatan lokal melalui Perda Pendidikan. Selain itu, Sekolah Pangan di Panggang dan Bosskid di Tepus bisa dijadikan lembaga pendidikan informal yang diakui oleh pemerintah.
Yang Bisa Dijawab Perda Pendidikan
Lewat sebuah Perda Pendidikan, Gunungkidul dapat secara khusus menyeleksi dan menagkomodasi permasalahan, tantangan, dan potensi yang dimilikinya. Untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah hadir sejak lama juga untuk mempersiapkan tantangan yang akan dihadapi di masa depan.
Sehingga yang menjadi kunci dari keberhasilan Perda Pendidikan adalah perencanaanya. Hal yang penting dan utama adalah membuka jalan seluas-luasnya dari semua elemen masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Penting dilakukan karena untuk memaksimalkan cakupan apa saja yang bisa diakomodasi dalam Perda Pendidikan nantinya.
Maka proses pembentukaanya harus dari bawah yaitu warga, bukan sebaliknya yaitu dari pemegang otoritas. Tanpa demikian, saya kira hasil dari Perda Pendidikan hanya sebatas himbaua-garis-pandu seperti peraturan pada umumnya. Lantaran yang memiliki realitas permasalahan adalah warga. Sehingga warga sendiri yang bisa menjelaskan permasalahanya dan bagaimana mengatasinya.