Pembangunan kawasan berjalan tanpa riset. Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) semkain rusak. Potensi positifnya hilang, potensi bencana semain besar.
Kening Nimatul Huda tampak berkerut. Sesekali Ketua Dewan Riset Daerah tersebut menarik nafas panjang. Ia mengaku gundah dengan berbagai penolakan masyarakat terkait program pembangunan yang akan dilakukan di wilayah Gunungkidul.
“Contohnya penolakan industri peternakan ayam pedaging di Semanu,” ujarnya saat ditemui di Kantor Jurusan Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yoyakarta.
Menurut dosen FH UII ini, penolakan itu akan menghambat upaya Pemerintah Daerah (Pemda) Gunungkidul untuk mensejahterakan masyarakat. Nimatul menyadari alasan penolakan tersebut lantaran kawasan peternakan ayam berskala besar dibangun di KBAK Gunung Sewu. Sedangkan KBAK sendiri dilindungi sebagai kawasan geologi oleh Keputusan Mentri ESDM No. 3045K/40/MEM/2014. Disebutkan luas KBAK di Gunungkidul 757,13 kilometer persegi.
“Pemberlakuan sebagian besar wilayah di Gunungkidul sebagai KBAK, secara tidak langsung menghambat pembangunan,” kata Nimatul.
Hambatan pembangunan tersebut yakni sulitnya mendapat perijinan untuk melakukan beragam kegiatan di KBAK. Sehingga Nimatul merekomendasikan pada Pemda Gunungkidul untuk mempermudah perijinan usaha di KBAK. Hal tersebut dilakukan agar investasi dapat berjalan dengan lancar dan mudah. “Jika investasi masuk dengan mudah, banyak pembangunan akan berjalan dengan baik dan ekonomi akan bergerak positiv di Gunungkidul,” ujarnya menambahkan.
Dalam rekomendasi untuk mempermudah perijinan di KBAK, Nimatul mengaku tidak ada riset yang dijadikan rujukannya. “Motif dari rekomendasi itu untuk mempermudah Pemda Gunungkidul memberikan ijin usaha di KBAK saja, untuk pembangunan ekonomi,” ujarnya.
Nimatul juga menyebutkan, selama ini tidak ada riset soal pemanfaatan KBAK yang berwawasan ekologis. “Juga tidak ada kajian pemanfaatan KBAK untuk menunjang ekonomi masyarakat dan pembangunan.”
Ia mengakui pola pembangunan di Gunungkidul selama ini tidak memperhatikan keberadaan KBAK. Ketika ditanya soal potensi pengembangan ilmu pengetahuan di KBAK, berupa ekosisitem, flora, dan fauna endemik, Nimatul tidak mengetahui. Apalagi potensi sungai dan air bawah tanah di KBAK yang bila dikelola dengan teknologi yang tepat dapat mengatasi kekeringan di Gunungkidul.
Tak Berwawasan Lingkungan

Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandra mengatakan, ketiadaan riset soal pemanfaatan KBAK guna menunjang pembangunan di Gunungkidul menjadikan KBAK diabaikan. Pengabaiaan KBAK tersebut membuat pola pembangunan di Gunungkidul merusak KBAK.
“Kerusakan KBAK karena pola pembangunan masih konvensional, seolah tidak ada KBAK di Gunungkidul,” ujarnya saat ditemui di Sekertariat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Yogyakarta.
Padahal banyak pola pembangunan yang bisa ditempuh dengan tetap mengutamakan kelestarian KBAK. “Tanpa mengesampaikan ekonomi dan lingkungan, pembangunan di KBAK bisa dijalankan,” ujarnya menambahkan.
Ia mencontohkan beberapa industri pariwisata di Gunungkidul yang menerapkan sistem ekowisata. “Arung jeram Kali Suci contohnya. Kelestarian ekosistem Kali Suci, Semanu dapat terjaga sekaligus dapat menghasilkan untung bagi dari dijadikannya arung jeram,” ujar Halik.
Lestarinya ekosistem Kali Suci karena ada pembatasan jumlah pengunjung. Di sisi lain untung secara ekonomi, karena terbatasnya jumlah pengunjung menjadikan harga tiket masuk jadi tinggi.
Jika warga yang mengelola KBAK, Halik percaya bahwa kelestarian KBAK akan terjaga. “Warga sudah puluhan hingga ratusan tahun hidup berdampingan dengan KBAK. Mereka sudah membangun sistem budaya yang secara tidak langsung melestarikan KBAK,” terangnya.
Berbeda dengan yang mengelolaan KBAK adalah industri besar. Menurut Halik, yang terjadi hanya kerusakan. “Watak industri besar mengabaikan kelestarian lingkungan, bagi mereka yang terpenting dan utama adalah keuntungan matrealistik,” jelasnya.
Sementara itu, dari perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Gunungkidul yang sedang dibahas oleh Pemda dan DPRD Gunungkidul, yang diperoleh Halik, banyak kawasan karst dikeluarkan dari KBAK. “Pengeluaran beberapa kawasan tersebut tidak didasarkan pada potensi ekologi dan pengembangan ilmu pengetahuan dari KBAK,” ungkapnya.
Halik menyayangkan rencana perubahan tersebut. Lebih-lebih DRD tidak mengawal perubahan RTRW, khususnya pengeluaran beberapa kawasan karst dari KBAK. “Padahal isu tersebut strategis untuk DRD, berkaitan dengan arah pembangunan dan pengembangan ilmu pengetahuan di Gunungkidul.”
Tak Ada Mitigasi, Resiko Bencana Tinggi
Tidak adanya mitigasi KBAK oleh Pemda Gunungkidul membuat potensi negatif KBAK lebih banyak dibanding potensi positifnya. Potensi negatif tersebut di antaranya bencana banjir di musim penghujan dan kekeringan akut di musim kemarau. Selain itu juga tanah longsor dan tanah amblas.
Nandra Eko Nugraha, Peneliti di Pusat Studi Karst Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta mengatakan, alih – alih membuat strategi mitigasi KBAK Pemda Gunungidul justru merusak KBAK. “Pemberian ijin industri berskala besar di area KBAK oleh Pemda Gunungkidul mengindikasikan mereka abai terhadap mitigasi kawasan karst,” ujarnya.
Hal tersebut bisa berakibat fatal. “Contohnya pada akhir tahun 2017 kemarin, banjir besar terjadi di Gunungkidul,” ujaranya. Banjir yang melanda Gunungkidul pada Desember 2017 menurut data Dinas PU dan Perumahan Rakyat Gunungkidul mencapai Rp. 100 miliyar.
“Kerugian akibat bencana karena rusaknya lingkungan dibaikan oleh Pemda. Padahal kerugiannya tidak main-main jika dibanding keuntungan ekonominya,” jelas Nandra.
Menurutnya bencana bisa dihindari dengan menjaga kelestarian KBAK. “Salah satu penyebab banjir Gunungkidul 2017 adalah rusaknya area karst sebagai resapan air, sehingga air hujan tidak bisa terserap ke tanah dengan baik,” terang Nandra.
Fungsi kawasan karst adalah penyerap air hujan terbaik. “Hasil serapannya pun jauh lebih baik dari kawasan tanah biasa, karena daya seringnya terhadap polusi tinggi,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, Nandra menjelaskan, ekosisitem bawah tanah karst berpengaruh secara langsung terhadap ekosistem di atas tanah. “Jika ekosistem karst rusak, habitat di dalamnya akan rusak pula,” ujarnya menjelaskan.
Nandra mencontohkan kekelawar penghuni goa bawah tanah kawasan karst, jika kekelawar sudah tidak memiliki habitatnya rantai makanan pemakan hama lahan persawahan akan timpang. Ketimpangan rantai makanan lahan persawahan tersebut tidak dibaca oleh Pemda Gunungkidul sebagai sebuah kerugian. “Begitu juga dengan flora dan fauna endemik lain yang menghuni kawasan karst, mereka ini kan sebenarnya potensi pemngembangan ilmu pengetahuan,” jelas Nandra.
Potensi-potensi kawasan karst, menurut Nandra, sudah dipahami oleh Pemda Gunungkidul. Misalnya pengelolaan air bawah tanah hasil serapan karst di Bribin. “Kapasitas air Bribin itu per menit menghasilkan 1.000 meter kubik air bersih dan sudah dimanfaatkan oleh PDAM Gunungkidul,” terangnya.
Namun potensi tersebut belum banyak digali di tempat lain karena kebutuhan teknologi untuk mengolah potensinya belum terpenuhi. “Pengolahan potensi teknologi yang sesuai dengan karateristik kawasan karst ini yang harusnya dipikirkan dan diprioritaskan oleh DRD Gunungkidul.”
Artikel ini diterbitkan sebagai hasil dari program Hibah Liputan: Mendorong Kebijakan Berbasis Bukti kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Knowledge Sector Intiative (KSI).