Dalam lingkar pertemanan dari Gunungkidul, saya selalu menyempatakan bertanya prihal perkembangan kasus bunuh diri kampung halaman mereka. Hampir setiap hari saya mendapatkan jawaban perkembangan bunuh diri baik itu berupa cerita atau berita lokal. Kenyataan menerpa saya bak ombak menerpa karang pantai Sandranan, makin mengiris hati saya, tapi kenyataan ini begitu kuat menerpa, tak lantas dilupakan begitu saja. Namun beberapa kesempatan teman-teman saya dari juga bertannya pada saya.
“Bunuh diri itu bisa menular nggk sih, cuy?” Tanya Seno seorang remaja SMA dari Gunungkidul.
“Mungkin, bisa jadi iya, bisa jadi tidak,” ungkapku dalam hati. Tidak tahu. Lantas bengong.
Saya tak dapat menjawab begitu saja setiap pertanyaan yang mereka lontarkan. Pertanyaan itu sering kali menjadi hantu dalam pikiran saya. Kadang-kadang membuat terkejut, ketika sepanjang ingatan akan pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari kesadaran. Saya mulai menjadi gelisah dan mulai penelusura mencari kata kuci dalam mesin pencari, tiap kali ingatan itu muncul.
Saya mulai mencari dalam sepanjang rentang waktu 10 tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir saya menemukan pernyataan satu-satunya Psikiater dari RSUD Wonosari, Ida Rochamawti. Saat ia di acara Word Mental Health Day tahun 2006, Perempuan yang biasa disapa Ida ini mengatakan sepuluh tahun angka bunuh diri di Gunungkidul, menempati level tertinggi di Indonesia. Meski sampai saat itu mitos Pulung Gantung lebih dipercaya oleh masyarakat sebagai penyebab. Ida Rochmawati berpendapat berbeda bahwa sebagian besar pelaku tindak bunuh diri menunjukkan gejala depresi. Meski sampai saat ini Ia tidak mengetahui secara pasti penyebab depresi.
Saya masih mencari di mesin pencari dalam rentang waktu 5 tahun kebelakang dari tahun 2015-2019. Saya Menemukan sebuah infografis dalam berita Liputan6.com. Terlihat dalam kemasan visual rata-rata setiap tahun 30 orang warga Gunungkidul meninggal karena bunuh diri dari tahun 2015-2017. Dari data yang dikomparasikan dalam rentang tahun 2015-2017 sebanyak 46 Persen penyebabnya diduga adalah depresi. Data tersebut mendukung dugaan Ida mengenai depresi sebagai penyebab, meski penyebab masih diselimuti mendung mengelayut.
Di awal tahun 2019 bulan Januari saja ada 6 orang meningal karena bunuh diri. Saya Pernah mendengar dari teman, Pemerintah Daerah Gunungkidul membuat satgas untuk menekan angka bunuh diri, tapi sepertinya kasus diawal tahun betul-betul pukulan yang telak untuk fungsi satgas ini.
Kembali kepertanyaan bagaimana peniruan perilaku bunuh diri terjadi? Muncul istilah The Werther effect, atau bunuh diri yang menjalar cepat bak penyakit menular (contagious). Warther diambil dari seorang tokoh potagonis Novel The Sorrows of Young Werther dari Novelis Jerman. Manusia mengimitasi apa yang dibaca, dilihat, atau didengar. Dalam Social learning theory Psikolog Albert Bandura tahun 1977. Bandura mengatakan , manusia mempelajari sesuatu dengan cara meniru perilaku orang lain.
Saya menemukan dalam mendefinisikan penyebaran bunuh diri, yaitu : Penularan Bunuh Diri (Sucide Contigion). Salah faktor penyababnya adalah Media. Pembahasan ini hanya membatasi pada media massa. Namun, kemungkinan penyebaran bukan tidak mungkin terjadi pada media yang lain seperti : cerita fiksi, film, musik dan media sosial. Mungkin akan dibahas selanjutnya.
Situs US Department of Health & Human Service menyebutkan “penularan bunuh diri” merupakan penyebaran tindakan bunuh diri ataupun perilaku bunuh diri melalui salah satu anggota keluarga, salah satu anggota kelompok pertemanan, maupun melalui berita-berita yang melaporkan suatu peristiwa bunuh diri. Hal ini dapat meningkatkan tindakan bunuh diri dan perilaku bunuh diri, ulas Ardina dalam tulisnya, tahun 2017 di Beritaagar.id, sekarang menjadi Lokadata.id.
Faktor Media
Saya belum menemukan penelitian dalam sekala lokal tentang pemberitaan bunuh diri di Gunungkidul. Saya mencoba memakai kacamata sebuah Pelatihan Suicide Prevention and Intervention sekitar tahun 2001 tentang fenomena bunuh diri dan peran media di Amerika Serikat (AS) oleh Dr. Madelyn Gould, Profesor Epidemiologi Klinis Pskiatri di Universitas Colombia. Ini sebagai perbandingan saja.
Menurut Perempuan yang disapa Dr. Gould, sebagian besar studi tentang penularan di Amerika Serikat dan negara-negara lain menunjukkan bahwa liputan media tentang bunuh diri secara signifikan meningkatkan tingkat bunuh diri. Ini menimbulkan konflik penting bagi media antara menghasilkan cerita yang meyakinkan dan menghindari penularan.
Menurut Dr. Gould, studi analisis konten mengungkapkan delapan faktor media berikut yang meningkatkan penularan bunuh diri, terutama bagi kaum muda. Pertama, liputan berita yang diulang-ulang terus dengan cerita yang sama. Kedua, mencakup halaman depan.
Ketiga, Berita utama dengan ukuran lebih besar. Keemapat, Bunuh diri selebriti memiliki dampak yang lebih besar. Kelima, penggambaran “hadiah” seperti keluarga dan anak lelaki atau pacar yang berduka dapat menumbuhkan motivasi balas dendam untuk bunuh diri, terutama di kalangan pemuda yang marah dan sedih.
Keenam, pelaporan media mengindikasikan bunuh diri sebagai sesuatu yang “tidak dapat dihindari,” bahwa “seseorang akan menjadi yang berikutnya.” Ketujuh, Menyajikan bunuh diri sebagai masalah politik, misalnya karena desegregasi (pemisahan berdasar sentimen rasial) atau tekanan pekerjaan. Kesembilan, korban ditunjukkan memiliki sifat berkualitas tinggi yang diinginkan.
Kode Etik Media
Pemberitaan bunuh diri yang diulang-ulang dan panjang dapat meningkatkan kemungkinan “penularan bunuh” diri. Itulah sebabnya Departemen Kesehatan Amerika Serikat menyarankan agar media meminimalkan pemberitaan mengenai peristiwa tersebut.
Dr. Gould mendaftar pedoman khusus berikut untuk liputan media tentang bunuh diri. Pertama, Pertimbangkan apakah bunuh diri yang dimaksud layak untuk diberitakan. Kedua, Jangan salah menggambarkan bunuh diri sebagai tindakan misterius oleh orang yang sehat atau berprestasi.
Ketiga, Jangan menganggap bunuh diri sebagai cara pemecahan masalah yang masuk akal atau dapat dipahami. Keempat, Sertakan informasi yang bunuh diri dengan komplikasi gangguan mental dan / atau penyalahgunaan zat yang tidak umum, tetapi fatal, yang dapat diobati.
Kelima, Sertakan informasi bahwa bunuh diri dapat dicegah dengan perawatan yang tepat. Keenam, berhati-hatilah saat menggunakan gambar korban, pertimbangkan apakah gambar meningkatkan penularan. Ketujuh, Jangan memberikan uraian terperinci tentang metode.
Bukti menunjukkan bahwa ketika cukup detail diberikan, pemuda yang rentan akan bunuh diri di tempat yang sama dan / atau dengan metode yang sama. Delapan, batasi keunggulan, panjang, dan jumlah cerita. Sembilan, edit judul utama untuk mencocokkan dan tidak membuat sensasi cerita. Sepuluh, berikan sumber daya perawatan lokal ditiap berita.
Kabar baiknya di Indonesia Dewan Pers merilis Pedoman Media Memberitakan Kasus Bunuh Diri. Tentu saja tiap media di Gunungkidul dapat mengacu pada aturan tersebut. Jika media lokal memang peduli terhadap kepentingan publiknya. Saya kadang ngilu membayangkan jurnalis yang harus pasang badan menulis berita bunuh diri, tentu mereka ini memiliki ingatan yang traumatis—mereka juga termasuk dalam kelompok yang rentan.
Empati Jurnalis, Seperti Bakmi Jawa
“Intinya, pemberitaan (tindak bunuh diri) harus yang berempati kepada korban,” ujar Benny melalui keterangan tertulis pada Kompas.com yang diterima pada Jumat (24/3/2017). Benny Prawira Siauw, adalah aktivis Into the Light, komunitas pencegah bunuh diri di Indonesia. Berita tindakan bunuh diri membutuhkan sudut pandang khusus agar tidak mengeksploitasi korban atau keluaraga yang ditinggalkan. Bukankan nilai yang terpenting bagi jurnalis adalah hati nuraninya.
Kebetulan saya adalah penikmat kuliner khas Gunungkidul, ikatan ini yang sering membawa saya mencoba menyantap dari grobak bakmi ke grobak bakmi jawa lainnya. Seperti bakmi jawa dengan berbeda-beda eleman, pun dengan pencengan bunuh diri dapat dari irisan tiap elemen yang ada di Gunungkidul seperti : Tenaga Profesional, Jurnalis, Perusahan Media Lokal, Peneliti, Aktivis, Tetangga, Penyintas, Keluarga, bahkan penikmat bakmi seperti saya. Bukankah itu akan menjadi ikatan yang kuat yang akan terjadi seperti dalam sepiring bakmi jawa.
Saya rasa pencarian belum usai dari pertanyaan kawan-kawan di Gunungkidul. Ulasan atas pertanyaan di kepala saya seperti satu elemen di Bakmi jawa, ini hanya satu bahan penelusuran saya saja. Masih banyak bahan yang perlu diracik dan atau untuk diolah. Ada yang ingin ikut?